Aku
seorang wanita yang diberi nama begitu cantik oleh orang tuaku. Sebuah nama yang artinya seorang wanita utama, seorang permaisuri yang cantik yang akan melahirkan raja-raja. Orangtuaku berharap
memiliki anak yang tidak hanyak cantik secara fisik namun akhlaqnya juga cantik
insyaallah.Semoga nantinya aku dapat melahirkan generasi-generasi yang mampu menjadi pemimpin bagi negeri ini.
Entah sejak kapan dikatakan
‘layak’ bernyanyi didepan umum hingga
aku diminta menyanyi. Padahal suara juga pas-pasan saja. Bapaku tercinta yang menurunkan darah seni itu
mengalir deras dalam tubuhku. Bapaku pandai memainkan wayang, beliau adalah
seorang dhalang. Meski tak sekondhang
Ki Manteb, perjuangan ndhalang bapaku
sangat menginspirasi. Mungkin dilain kesempatan menceritakan tentang perjuangan
bapak.
Kembali
kepada bernyanyi. Karir bernyanyi
pertama kali adalah kelas 3 SD di sebuah acara HUT RI. Aku diberi
kesempatan bernyanyi di sebuah panggung. Panggung itu cukup megah menurut ukuran anak SD. Jangan dikira aku menyanyikan lagu anak-anak
lho. Bukan..bukan lagu anak-anak yang kunyanyikan. Melainkan lagu dangdut. Semua
pemain musiknya masih sanak famili. Kalau tidak salah waktu itu membawakan lagu
dari Evie Tamala. Lucu sekali memang anak kecil nyanyi dangdut. Tapi dangdutnya
gak heboh dengan goyangan erotis seperti sekarang ini. Musik dangdut yang masih
sesuai dengan jalur Bang Rhoma. Kalau yang heboh itu sungguh Terlalu..hehe J.
Bisa dikatakan pengalaman pertamaku yang mengantarkan ke pengalaman berikutnya.
Aku
seperti digiring ke suatu tempat dimana aku sendiri tidak tahu kemana akan
bermuara. Semua orang menggiringku untuk berkesenian. Saat itu aku benar-benar
belum menemukan bakatku sesungguhnya itu apa. Pak Pri guru SD ku yang
membimbingku dengan sabar untuk mengikuti lomba macapat. Macapat adalah tembang jawa dimana ada aturan tertentu
dalam setiap lagunya. Aturan tersebut adalah guru lagu (bunyi dalam setiap akhir lagu a.i.u.e.o), guru wilangan (jumlah suku kata per
baris), guru gatra (jumlah baris
dalam setiap bait). Alhamdulillah meski masih pemula sempat Juara 3 di tingkat
Kabupaten. Kegiatan bernyanyi di SD
masih terus berlangsung, mengikuti
kegiatan pentas seni mewakili sekolah atau menyanyi di hajatan tetangga.
Memasuki
SMP kukira orang lain tidak akan tahu bahwa aku senang bernyanyi. Ternyata aku salah. Semenjak ditunjuk
mewakili kelas untuk mengikuti lomba vocal antar kelas dan berhasil mendapatkan
juara 1, seisi sekolah jadi tahu kalau aku bisa bernyanyi. Sejak saat itu
sering diminta mengisi setiap ada acara
di sekolah. Selain itu ikut ansambel musik dan karawitan. Semua kegiatan
ekstrakulikuler yang kuikuti tidak pernah jauh dari yang namanaya kesenian.
Mengikuti ekstra Karawitan pun tidak
dipilih menjadi pemain gamelannya melainkan menjadi wiraswara alias sindhen. Yah semua kegiatan itu
kunikmati saja, hanya sebatas suka dan nyaman tanpa tahu adakah kemanfaatan
dari lantunan lagu yang kusenandungkan. Astagfirullah. Iri rasanya melihat
teman-teman yang sudah mengenal nasyid dari SD atau SMP.
Menginjak SMA, masih saja berhubungan dengan kegiatan
seni meskipun di sekolah tidak ada mata pelajaran seni musik kegiatan bermusik
tidak berhenti. Aku ikut dalam sebuah ekstrakulikuler band. Pantasnya aku
megang apa di grup band,? Tidak ada yang pantas sepertinya karena aku memang
tidak bisa memainkan alat musik. Jadi tetaplah menjadi seseorang yang memegang
microfon dalam grup band tersebut, menjadi vokalis band. Selain itu aktif mengikuti perlombaan vocal
mewakili sekolah.Pernah Ikut Lomba Solo Vokal Alhamdulillah juara 1. Ingat sekali aku waktu itu menyanyikan
lagunya Rossa. Makasih Kak Ocha atas lagunya yang membuat juri terharu.
Sampai
di akhir kenaikan kelas 2 aku memutuskan
langkah besar dalam hidupku yaitu
menggunakan jilbab. Aku mantap untuk memakai jilbab baik di sekolah maupun
diluar rumah meskipun jilbab yang kukenakan terkadang masih belum sesuai
syariat. Banyak cobaan diawal-awal menggunakan jilbab. Tapi Alhamdulillah masih
tetap istiqomah dalam berjilbab.
Sempat
gamang juga dengan keputusan besar ini, namun kegiatan ngeband masih saja
kujalani. Mengikuti lomba vocal, macapat,
dan sebagainya. Pernah waktu itu ditunjuk sekolah untuk mewakili kecamatan
dalam festival penyanyi dangdut se kabupaten. Bagi yang lolos seleksi akan
masuk ke provinsi dan rekaman. Sebuah surprise ketika memasuki arena
perlombaan. Wow.. saya satu-satunya kontestan yang berjillbab. Karena seluruh
kontestan menggunakan pakaian layaknya seorang penyanyi professional. Sepatu highills, pakaian seksi make up tebal.
Sempat ciut juga mental ini melihat kontestan lain. Karena seluruh kontestan
terlihat dari segi usia dan kematangan suara jauh lebih mumpuni. Alhamdulillah
saat itu masuk sepuluh besar. Lumayan untuk ukuran anak SMA. Seorang anak SMA
yang cupu melawan para penyanyi-penyanyi yang sudah senior. Meskipun tidak selalu mendapatkan juara tapi aku
banyak belajar dari itu. Takdir Allah saat itu menuliskan bahwa semenjak aku
berjilbab jarang sekali memenangkan
sebuah perlombaan menyanyi. Aku sempat merasakan kebingungan dalam diri apakah
karena aku berjilbab maka tidak seharusnya bernyanyi? Kegagalan demi kegagalan yang aku alami dalam
perlombaan membuatku berfikir keras jangan-jangan yang kulakukan ini sebuah
kesalahan. Di tengah kegalauan itu aku masih memenuhi permintaan bapak atau ibu
guru yang menyuruhku bernyanyi di berbagai acara.
Manusia
tanpa ujian tidak akan pernah naik kelas. Karna sejatinya, ujian itulah yang
membuat kita naik setingkat lebih baik. Demikian pula saat sudah berjilbab
kemudian masih bernyanyi bukan tanpa ujian pula. Pandangan aneh, cibiran,
kritikan sering kudapatkan. Ada suatu pengalaman saat aku akan shalat dhuha,
ada kakak kelas SMA perempuan yang
mengatakan “ Kamu kan banyak dosanya ya, biasa nyanyi di café-café gitu jadi
harus rajin sholat dhuha ya” Ia berkata tanpa rasa bersalah. Aku cuma diam
saja, biarlah Allah yang Maha Tahu. Ya Rabbi…apakah demikan hinanya aku, café mana coba yang aku datangi.
Rumah juga di desa gitu mana ada café. Begitulah itu hanya salah satu yang lain
masih banyak lagi.
Tahun
2008, lulus SMA dan mulai memasuki bangku kuliah di sebuah Universitas di
Yogyakarta. Masa jeda antara SMA dan kuliah kugunakan untuk menambah
pengetahuan tentang keislaman. Termasuk pengetahuan tentang berjilbab yang
benar secara syariat. Waktu itu sudah muncul keinginan untuk berjilbab secara
benar sesuai dengan buku yang aku baca. Karena aku sempat menangis membaca
sebuah hadist yang menyebutkan bahwa akan
ada suatu masa dimana para perempuan itu berpakaian akan tetapi sejatinya
telanjang, mereka tidak akan mencium bau surga. Astagfirullah.. aku benar-benar
seperti tertampar membaca buku tersebut. Bahkan mencium bau surga saja tidak,
padahal surge itu dapat tercium dari jarak yang begitu jauh. Meski sudah ada
niatan untuk berjilbab lebih baik lagi, namun niatan itu belum terlalu kuat
masih timbul dan tenggelam.
Masa
kuliah pun tiba, aku diterima di Jurusan Bahasa Jawa. Sama sekali tidak
menyangka kalau ternyata jurusan ini begitu banyak kegiatan yang berbau seni.
Baik itu drama, karawitan, macapat
dan lain sebagainya. Sebuah surprise
yang luar biasa karena kusangka tidak akan bisa lagi bersinggungan dengan dunia
kesenian. Disela-sela kuliah aku
mengikuti kegiatan Lembaga Dakwah Kampus. Di sana kami mengkaji islam lebih
dalam lagi, dan akhirnya ALLAH memberikan kemantapan hati untuk berjilbab lebih
baik lagi. Alhamdulillah sungguh nikmat yang tak terkira. Walau diawal sempat
ditentang keluarga. Dengan pertolongan Allah semuanya akhirnya menerima. Dulu
disangka teroris atau aliran-aliran islam yang aneh ketika memutuskan menggunkan
jilbab yang lebih lebar dan kemana-mana mengenakan kaos kaki. Sekarang, justru
orang tua yang melarang menerima tawaran dari tetangga jika diminta menjaga
kado di hajatan mereka. Karna kalau
menerima tawaran mereka, jilbab akan dimasukan ke baju. Hukum dari mana yang mengharuskan seseorang
memasukkan jilbabnya dalam baju. Takut tidak modis, takut model bajunya g
kelihatan, atau kenapa? Aku lebih takut kalau tidak menjalankan perintah Allah
dengan sebaik-baiknya. Alhamdulillah sungguh, kalau ada niatan Allah selalu
memberikan jalan.
Lalu
bagaimana kabar hobiku dalam ‘bernyanyi’?
Berhentikah sampai di sini? Kisah ini berlanjut, berawal dari sebuah kegiatan
untuk mahasiswa baru, saat aku memasuki
ruangan sudah ada ribuan orang yang duduk di dalam. Sempat terpaku sejenak,
memastikan apa yang kulihat dan kudengar. Di hadapanku sedang disajikan sebuah
hiburan. Di sana ada sesorang yang bermain grand piano dan ada yang menyanyikan
sebuah lagu yang setelah aku bertanya
kesana kemari ternyata itu berjudul Keimanan. Indah sekali, syair dan nada yang
dilantunkan merasuk kalbu. Hingga aku berfikir ternyata berkesenian itu
seharusnya mempunyai orientasi yang jelas dan bukan hanya sebagai penyaluran
hobi. Semenjak saat itu aku mulai mengubah cara pandangku dalam berkesenian.
Mulai saat itu aku mengenal apa yang disebut dengan nasyid. Nasyid itu artinya
senandung. Namun syair dalam nasyid mengajak seseorang untuk lebih mengenal
Allah, Rasul dan semua hal yang memberikan kemanfaatan.
Rohis
Fakultas kami mengadakan audisi nasyid muslimah. Aku pun mencoba mengikuti
audisi nasyid muslimah di kampus. Akhirnya diterima dan terbentuklah sebuah
grup bernama ‘Dawai’. Kini orientasiku dalam berkesenian jauh berbeda. Bermusik
tidak hanya hiburan melainkan ada tujuan untuk bersyiar lewat senandung yang
kami bawakan. Di luar dugaan, nasyid
kami diterima dan bisa dikatakan menjadi kebangkitan nasyid muslimah di kampus
setelah sekian lama tertidur. Alhamdulillah
Grup kami pun berkesempatan mendapatkan
juara di berbagai perlombaan nasyid muslimah di Yogyakarta. Hadiah dari Allah
yang luar biasa. Ternyata jilbab lebar sekalipun tak menghalangi kita untuk
berkarya di bidang seni. Aku semakin mantap memilih media seni untuk
menyampaikan pesan kepada orang lain.
Keseruan
menjadi seorang mahasiswa bahasa jawa pun semakin menakjubkan. Mulai dari
bermain teater, pranatacara ‘MC
berbahasa Jawa’, nyindhen, dan
sebagainya. Oya kalian tahu sindhen
bukan? Penyanyi wanita dalam sebuah pentas wayang. Bayangan yang muncul pasti
seorang wanita cantik berpakaian kebaya, bersanggul dan mengenakan kain jarit. Betul seperti itu bukan? Nah sindhen kali ini sedikit berbeda ia
tidak memakai sanggul melainkan mengenakan jilbab yang menjuntai menutup
dadanya. Tak lupa kedua kakinya tertutup dengan kaos kaki. Ia itu aku. Itulah diriku ketika berada di
zona kesenian tradisi yang berhubungan dengan jurusanku. Ada masa dimana harus
bermain karawitan, membacakan sebuah geguritan
di sebuah pentas teater atau memang benar-benar nyindhen di pentas wayang kulit. Seru juga sih duduk manis
semalaman suntuk menjadi seorang sindhen.
Sekali lagi terbukti jilbab lebarku tidak menghalangiku untuk berkarya meski di
kesenian tradisi.
Kesenian
jawa dan ajaran islam sebenarnya sangat erat kaitannya. Masih ingat dengan
Sunan Kalijaga yang menyampaikan dakwahnya melalui wayang? Nah ternyata aku
banyak belajar dari berbagai kesenian tradisi ini. Memang benar kebudayaan jawa
itu ‘Adi luhung’. Banyak pesan moral
yang disampaikan melalui beranekamacam karya sastra jawa. Bahkan ketika aku nyindhen, membaca geguritan ataupun
bermain teater. Banyak yang langsung menmberikan justifikasi bahwa kesenian
jawa itu banyak syiriknya. Hatiku pun berkata, makanya belajar, banyak membaca
dan mengkaji pengetahuan keislaman. Kita dianugrahi Allah otak dan kemampuan
untuk berfikir kenapa tidak dimanfaatkan. Pengetahuan itulah yang akan menjadi filter bagi diri kita mana kebudayaan yang sesuai
dengan syariat dan mana yang tidak sesuai.
Memang
sih secara umum aku dibilang muslimah yang nyleneh
lain dari yang lain. Banyak yang menentang dengan apa yang kujalani. Hukum
perempuan bernyanyi dan sebagainya banyak diperdebatkan. Sempat goyah juga dengan
cibiran orang. Akan tetapi bukan berarti bertindak tanpa dasar lho. Apa yang
kulakukan ini sudah kudiskusikan kepada ustad yang ahli dibidangnya. Selain itu
juga memperkaya diri dengan banyak membaca buku. Salah satu buku yang recommended untuk para pejuang seni
adalah ‘Islam bicara Seni’ karya Ust Yusuf Qardawi. Berdasarkan
buku-buku yang dibaca dan diskusi yang dilakukan. Semua itu membuat semakin
mantap melangkah dan melaju ke depan. Whatever
apa kata orang, yang penting aku sudah madhep
mantep dengan apa yang kupilih ini.
Kalau Pak Taufik Ismail mengatakan bahwa bentuk ketaatan beliau kepada Allah
adalah melalui puisi-pusinya. Maka ijinkanlah aku menyampaikan pesan melalui
kesenian sebagai bentuk ketaatanku kepada Allah. Karena aku sadar aku tidak
mempunyai kemampuan yang cukup untuk menjadi penceramah ataupun penulis.
Mungkin inilah salah satu potensi yang bisa kumanfaatkan untuk memberikan
kebaikan kepada umat.
Rencana
dari Allah itu terkadang memang mengejutkan. Beberapa waktu lalu aku juga
diberi kesempatan nyindhen di sebuah konser megah seorang artis Muslimah
Oki Setiana Dewi ketika tour promo album ke Yogyakarta. Alhamdulillah, suatu
pengalaman yang luar biasa. Menyanyikan sebuah tembang pangkur untuk memanggil Mbak Oki naik ke atas panggung. Tembang
tersebut kurang lebih berisi tentang gambaran seorang Oki Setiana Dewi. Mbak
Oki merupakan sosok muslimah berjilbab yang inspiratif menurutku. Prestasi dan
kemampuannya disegala bidang begitu amazing.
Akupun membuktikan sungguh berjilbab memang bukan
halangan sesorang untuk terus berkarya dan berpretasi meskipun prestasiku tidak
sebanyak Mbak Oki. Semua itu bergantung pada niat, yaitu benar-benar karena
mengharap ridho Allah SWT. Entah skenario apa yang direncanakan Allah
selanjutnya, yang jelas jilbab ini tak
menghalangiku tuk berkarya. Jilbab ini terus menuntunku menuju kebaikan dan
mengajak untuk terus berdenting. Memainkan nada dan pesan terindah untuk sesama. Semoga iman senantiasa terpatri di dalam dada dan barokah
untuk semua. Aamiin.
![]() |
Saat menjadi MC di konser Oki Setiana Dewi |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar